Kamis, 18 Februari 2016

Tari Gambyong Surakarta

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Dua orang sedang melakukan gerakan tari gambyong
Tari Gambyong merupakan tari Jawa klasik yang mengambil dasar gerakan tarian rakyat dari keseniantayub/tlèdhèk[1]. Biasanya tari gambyong dilakukan bersama-sama oleh beberapa penari.[1] Unsur estetis dari tari yang dilakukan bersama-sama terletak pada garis dan gerak yang serba besar.[2] Gerak tangan, kaki dan kepala tampak lebih indah dan ekspresif karena ditarikan bersamaan. Tarian ini semakin elok apabila penari dapat menyelaraskan gerakan dengan irama kendhang.[3] Sebab, kendhang sering pula disebut otot tarian dan pemandu gendhing.[3] Secara umum, Tari Gambyong terdiri atas tiga bagian, yaitu: awal, isi, dan akhir atau dalam istilah tari Jawa gaya Surakarta disebut dengan istilah maju beksan, beksan, dan mundur beksan.[4]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Pada mulanya tarian ini hanyalah tarian jalanan yang juga dipentaskan oleh penari jalanan yang biasa disebut dengan sebutan Tledek (Bahasa Jawa).[5] Nama Tledek yang menarikan tarian ini adalah Gambyong, ia cukup terkenal hampir di seluruh wilayah Surakarta pada Zaman Sinuhun Paku Buwono IV ( 1788 s/d 1820).[5] Si Gambyong memiliki suara yang indah serta gerakan yang gemulai, sehingga ia mudah dikenal orang.[5] Semenjak itulah tarian yang dimainkannya dijuluki Tarian Gambyong.[5]

Gerak Tari[sunting | sunting sumber]

Yang menjadi pusat dari keseluruhan tarian ini terletak pada gerak kaki, lengan, tubuh, dan juga kepala.[5] Gerakan kepala dan juga tangan yang terkonsep adalah ciri khas utama tari Gambyong.[5] Selain itu pandangan mata selalu mengiringi atau mengikuti setiap gerak tangan dengan cara memandang arah jari-jari tangan juga merupakan hal yang sangat dominan.[5] Selain itu gerakan kaki yang begitu harmonis seirama membuat tarian gambyong indah dilihat.[5]

Penggunaan[sunting | sunting sumber]

  • Pada awalnya, tari gambyong digunakan pada upacara ritual pertanian yang bertujuan untuk kesuburan padi dan perolehan panen yang melimpah.[1] Dewi Padi (Dewi Sri) digambarkan sebagai penari-penari yang sedang menari.[1]
  • Sebelum pihak keraton Mangkunegara Surakarta menata ulang dan membakukan struktur gerakannya, tarian gambyong ini adalah milik rakyat sebagai bagian upacara.[1]
  • Kini, tari gambyong dipergunakan untuk memeriahkan acara resepsi perkawinan dan menyambut tamu-tamu kehormatan atau kenegaraan.[1]

Ciri khusus[sunting | sunting sumber]

  • Pakaian yang digunakan bernuansa warna kuning dan warna hijau sebagai simbol kemakmuran dan kesuburan.[1]
  • Sebelum tarian dimulai, selalu dibuka dengan gendhing Pangkur.[3]
  • Teknik gerak, irama iringan tari dan pola kendhangan mampu menampilkan karakter tari yang luwes, kenes, kewes, dan tregel.[3]
Label: 
Kesenian khas Purbalingga tersebar hamper di pelosok desa, kesenian itu pada umumnya terdiri atas seni pertunjukan rakyat yang memiliki fungsi-fungsi tertentu berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Adapun bentuk – bentuk kesenian yang tumbuh dan berkembang antara lain :

1. BEGALAN



Yaitu kesenian tradisional yang digunakan sebagai sarana upacara pernikahan, propertinya berupa alat-alat dapur yang masing-masing memiliki makna-makna simbolis yang berisi falsafah jawa dan berguna bagi mempelai berdua dalam mengarungi bahtera berumah tangga.

2. ANGGUK




Yaitu kesenian yang bernafaskan Islam yang tersaji dalam bentuk tarian-tarian yang dilakukan oleh delapan pemain dan pada akhir pertunjukan para pemain mabuk / mendem
3. APLANG atau DAMES




Yaitu kesenian serupa dengan angguk pemainnya terdiri atas remaja putri

4. CALUNG




Yaitu perangkat musik khas Purbalingga yang terbuat dari bamboo wulung mirip dengan perangkat gamelan jawa, terdiri atas gambang, barung, gambang penerus, slentem, kenong, gong dan kendang. Dalam penyajiannya calung mengiringi vokalis yang lazim disebut sinden. Aransemen musical yang disajikan berupa gending-gending Banyumasan, gending gaya Surakarta, Yogyakarta dan sering pula disajikan lagu-lagu pop dan campursari.
Yaitu perangkat musik khas Purbalingga yang terbuat dari bamboo wulung mirip dengan perangkat gamelan jawa, terdiri atas gambang, barung, gambang penerus, slentem, kenong, gong dan kendang. Dalam penyajiannya calung mengiringi vokalis yang lazim disebut sinden. Aransemen musical yang disajikan berupa gending-gending Banyumasan, gending gaya Surakarta, Yogyakarta dan sering pula disajikan lagu-lagu pop dan campursari.

5. EBEG atau KUDA LUMPING




berbentuk tari tradisional khas Purbalingga dengan property utama berupa ebeg atau kuda kepang. Kesenian ini menggambarkan kegagalan prajurit berkuda dengan atraksi barongan, penthol dan cepet. Dalam pertunjukannya ebeg diiringi oleh seperangkat gamelan
berbentuk tari tradisional khas Purbalingga dengan property utama berupa ebeg atau kuda kepang. Kesenian ini menggambarkan kegagalan prajurit berkuda dengan atraksi barongan, penthol dan cepet. Dalam pertunjukannya ebeg diiringi oleh seperangkat gamelan

6. LENGGER




Yaitu jenis tarian yang tumbuh subur di wilayah Kabupaten Purbalingga. Kesenian ini biasanya disajikan oleh dua orang puteri atau lebih dan pada pertengahan pertunjukkan hadir seorang penari pria. Lengger disajikan diatas panggung pada malam hari atau siang hari dengan diiringi calung.

7. SLAWATAN




Yaitu salah satu seni musik yang bernafaskan Islam dengan perangkat musik terbang. Dalam pertunjukkan kesenian ini menyajikan lagu-lagu yang diambil dari kitab PERJANJEN.

Tari Lawet, Kesenian dari Kota Kebumen.



 Kota Kebumen terletak di Provinsi Jawa Tengah. Kota Kebumen, tempat di mana saya dilahirkan dan dibesarkan. Kebumen terkenal dengan semboyannya yaitu Kebumen BERIMAN, Bersih Indah Aman dan Nyaman. Di pusat kota, terdapat tugu Lawet sebagai iconnya Kebumen. Banyak warga yang membudidayakan burung lawet untuk usahanya. Sarang burung lawet banyak ditemukan di goa karang di pantai Karangbolong. Kota ini mempunyai kesenian tradisional. Kesenian dari Kota Kebumen yaitu Kuda Lumping, Wayang Kulit, Rebana, Tari Lawet, Jamjaneng atau yang akrab disebut dengan janengan, dan masih banyak lagi yang lain. Terutama tari lawet, tari lawet sangat menggambarkan Kota Kebumen, seperti icon dari kota ini.
Tari Lawet merupakan Kesenian tradisional dari Kota Kebumen. Tari ini diciptakan oleh Bapak Sardjoko. Tari ini diciptakan ketika Bupati Kebumen yang menjabat pada saat itu menginginkan suatu pementasan tari tradisional yang khas dari Kota Kebumen untuk acara pembukaan Jambore di Bumi Perkemahan Widoro Payung, Karangsambung. Namun pada saat itu Kebumen belum memiliki tari tradisional. Maka timbul kenginan dari Bapak Sardjoko untuk menciptakan tarian khas kebumen. Bapak Sardjoko merupakan seniman Kota Kebumen. Ia menemukan inspirasi untuk menciptakan tari khas Kebumen dari burung lawet yang sedang beterbangan. Burung Lawet banyak terdapat di Daerah Kebumen.
Gerakan Tari Lawet lincah dan ceria. Tari lawet menggambarkan kehidupan burung lawet, mulai dari mencari makan sampai kembali ke sarangnya. Kostum tari Lawet juga menggambarkan burung lawet. Bapak sardjoko juga telah menentukan kostumnya dari atas kepala sampai ke kaki. Kostum itu terdiri dari jaman dan garuda mungkur, baju, celana, sayap, kalung kace, benting, slepe, rampek, acal, sonder, gelang kaki. Tari lawet diiringi musik Lawet Aneba dan diberi vokal.
Tari lawet pernah dipentaskan pada acara-acara besar di Kebumen. Tari Lawet pernah dipentaskan di Alun-alun Kebumen, Stadion Candradimuka, lapangan pemandian air panas di Krakal, Alian. Selain itu, pernah juga di pentaskan di TMII dalam acara anjungan Jawa Tengah.
     Seperti itulah pemaparan tentang tari lawet. Semoga menambah pengetahuan anda tentang kesenian dari Kebumen.

Oleh : Khusnul Roifah

Kesenian Ebeg

kesenian-ebegInformasi budaya tentang kesenian Ebeg. Kesenian ebeg adalah kesenian rakyat yang memang mirip dengan jaran kepang atau kuda lumping atau jathilan. Kesenian ebeg atau kuda lumping adalah kekayaan budaya Indonesia terutama untuk masyarakat di Jawa, yiatu Jawa Tengah dan Yogyakarta. Kuda lumping atau ebeg adalah seni tari yang dimainkan dengan properti berupa kuda tiruan, yang terbuat dari anyaman bambu atau kepang. Tidak satupun catatan sejarah yang mampu dengan tepat untuk menjelaskan asal mula ebeg atau asal usul kuda lumping ini, hanya riwayat verbal yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Antara hidup segan mati tak mau Ebeg adalah salah satu kesenian tradisional yang gaungnya sudah tidak lagi nyaring terdengar. Namun di beberapa tempat seperti di Desa Kalirancang kecamatan Alian, kabupaten Kebumen, Jawa Tengah dan di desa lain, masih ada mayarakat Kebumen yang peduli dan melestarikan seni tarian rakyat ini. Grup kesenian ebeg yang bertahan dan tetap setia menghibur penggemarnya. Ebeg sangat kental dengan alam gaib. Sebuah bagian yang penting yang membuat kesenian ebeg ini bisa bertahan.
Bagi sebagian masyarakat Kebumen dan kota lain di Jawa Tengah, kesenian ebeg ini sangat terkenal dan setiap pementasannya selalu menarik banyak penonton. Biasanya mereka tampil dalam acara-acara seperti sedekah bumi, dan acara memperingati kemerdekaan Republik Indonesia. Ada juga yang mengundang kelompok kesenian ebeg ini di acara hajatan. Sekali pentas mereka mendapat bayaran antara satu hingga satu setengah juta rupiah. Tidak terlalu mahal, untuk menyemarakkan hajatan di kampung-kampung. Kesenian ebeg (kuda lumping) ini kabarnya sudah ada sejak jaman Pangeran Diponegoro, sekitar abad ke 18, atau ada juga yang mriwayatkan sudah ada sejak jaman Raden Patah di Demak. Para pemain Ebeg begitu bangga disebut pasukan penunggang kuda, kendati kuda yang mereka tunggangi hanya terbuat dari anyaman bambu. Satu grup ebeg biasanya terdiri dari dua puluh orang. Selain ketua rombonganEbeg, ada pemain, penabuh gamelan dan penimbul ebeg. Yang menarik adalah penimbul (atau dukun Ebeg), dialah yang bertugas memanggil dan memulangkan arwah atau indang, dan menjadi penanggung jawab proses pertunjukan Ebeg. Penimbul Ebeg juga harus pandai mengendalikan para pemain yang sudah kerasukan hebat. Selain itu, dia juga harus bisa melindungi seluruh anggota tim dan penonton, bila ada seseorang yang jahil sengaja mengacaukan pertunjukan Ebeg atau sekedar menjajal ilmu-nya. Bila terjadi, biasanya sang penari tidak mampu bergerak. Oleh karena itu, penimbul atau dukun Ebeg ini benar – benar harus orang yang memiliki ilmu yang mumpuni untuk memanggil roh.
Ebeg adalah pestanya para arwah atau indang, sehingga indang selalu meminta suguhan layaknya manusia. Asap kemenyan yang diumpamakan sebagai nasi dan bunga sebagai sayuran. Berbeda dengan mantra jaelangkung yang datang tak diundang pulang tak diantar. Maka indang, pulang harus diantar. Ada puluhan gending yang biasanya mengiringi pertunjukan ebeg. Empat diantaranya sangat berpengaruh mengundang indang. Mereka adalah cempo, eling eling, kembang jeruk dan ricik-ricik. Para penikmat dan pemerhati kesenian ebeg / kuda lumping biasanya sudah memahami benar, apabila salah satu dari keempat gending itu dimainkan, maka sudah pasti para indang akan segera datang dan merasuki para penari. Sulit mempercayainya, tetapi itulah fakta yang ada bahwa sisi mistis dan aura magic Ebeg dan kuda lumping selalu ada di setiap pertunjukan Ebeg digelar.  Itulah ebeg, kesenian kita yang khas dan mengakar, dimana estetika dan alam gaib tidak bisa dipisahkan. Sebelum Ebeg/kuda lumping digelar, penimbul dan ketua grup memasang pagar gaib di setiap sudut halaman dengan menebar bunga. Baik penimbul dan ketua indang harus membuat semacam perjanjian dengan indang. Kapan pertunjukan dimulai dan kapan harus berakhir. Mereka tidak berani mengingkari, karena bila batas waktu pertunjukan dilampaui, indang bisa saja nyasar kemana mana dan bisa menimbulkan malapetaka atau cidera baik para pemain maupun penonton di sekitar lokasi pertunjukan Ebeg.
kuda-lumping-mendemPara pemain masih dalam tingkat kesadaran yang penuh. Mereka mempertontonkan kebolehannya menari. Hingga tiba saatnya janturan, yakni puncak dari pertunjukan Ebeg. Gending mulai berubah menjadi gending eling-eling, dengan tempo yang cepat. Para penari mempercepat tarianya mengikuti irama gending. Pengaruh magis semakin terasa, seolah-olah indang berada di atas melayang- layang. Bau kemenyan menebar kemana-mana dan terasa sangat menusuk hidung. Mereka yakin indang makin mendekat. Dan sebagian penari mulai bertingkah aneh, ada yang agak kejang, ada juga yang mulai berjoget tak terkontrol mengikuti alunan musik Ebeg. Pada saat seperti ini, orang akan kehilangan kesadarannya. Namun mereka tetap harus segera disadarkan agar tetap bisa menari, kendati masih dalam pengaruh indang. Namun gerakan sebenarnya sudah mulai berubah. Patah-patah dan monoton. Menurut sang ketua Ebeg, indang sebenarnya sudah masuk ke dalam tubuh dan berada di ruas-ruas tulang penari. Semakin banyak indang atau arwah yang datang diundang, pesta akan semakin meriah, sehingga biasanya penari bisa kesurupan lebih dari tiga kali. Sering terjadi, penari yang sudah pulih, kembali hilang kesadarannya. Kalau sudah begini suasana ebeg memang kacau dan tidak terkendali. Tugas penimbul Ebeg yang menjadi berat. Apabila jumlah indang yang datang lebih banyak dari penari, maka penonton yang menjadi sasaran. Indang menggunakan mereka sebagai perantara. masyarakat di Kenumen menyebutnya dengan istilah mendem, kerasukan, kesurupan, atau kepranjingan. Ada juga orang yang sengaja ingin mendem. Ketua rombongan atau penimbul Ebeg, akan memberikannya. Ia memang meminta indang merasukinya, sehingga penonton spontan akan pandai menari. Penonton yang sedang mendem atau kesurupan bisa juga menularkanya kepada temannya. Caranya dengan menyemburkan air kembang atau memandang lalu menjejakkan kakinya ke tanah sebanyak tiga kali.
Ketika pertunjukan Ebeg usai, penimbul harus menepati janji untuk memulangkan arwah kembali ke tempat dimana mereka bermukim. Kalau sudah begini, biasanya penimbul yang akan mengambil peran. Ia mengucapkan kata-kata yang ditakuti oleh indang. Indang seharusnya dipulangkan dengan membuat dupa dan kemenyan, namun cara ini sangat merepotkan. Penimbul memilih cara lain, yakni memasukkannya ke dalam kendang, lalu dipulangkan secara bersamaan di halaman rumah yang punya hajat/tempat pertunjukan Ebeg. Kekuatan mistis memang menjadi daya tarik ebeg ini. Kebudayaan pop dan moderenisasi membuat kesenian ini menjadi tidak menarik lagi bagi sebagian orang yang tinggal di kota besar maupun generasi muda yang sudah tidak peduli dengan budaya nenek moyang. Namun di pedesaan di Kabupaten Kebumen, kesenian ebeg masih hidup, eksis, tetap ada, dan menjadi aset budaya Kebumen. Demikian informasi budaya tentang kesenian Ebeg dan cerita tentang Ebeg, semoga bermanfaat. (/Setra)


Kamis, 04 Februari 2016

Seni tradisional Banyumasan


Kesenian tradisional Banyumas adalah kekayaan budaya benda maupun tak benda yang tumbuh dan berkembang di wilayah bekas Karesidenan Banyumas, meliputi Kabupaten CilacapKabupaten BanyumasKabupaten Purbalingga, dan Kabupaten Banjarnegara. Sesuai dengan letak geografisnya, kesenian-kesenian di wilayah itu mendapatkan pengaruh dari pusat kebudayaan keraton Mataram YogyakartaSurakarta, dan Sunda. Namun seiring perkembangan zaman, pengaruh-pengaruh dari luar Banyumas itu hanya memperkaya khasanah saja, sebab kesenian-kesenian Banyumas memiliki karakternya sendiri, yaitu sebuah entitas kebudayaan ngapak. Kekhasan seni tradisi Banyumas bahkan menyebarkan pengaruh terhadap budaya sekitar, antara lain ke wilayah bekas karesidenan Kedudan Pekalongan.[1][2][3][4]
Hasil gambar untuk kesenian tari banyumas

Ebeg[sunting | sunting sumber]

Ebeg adalah jenis tarian rakyat yang berkembang di wilayah Banyumasan. Varian dari jenis kesenian ini di daerah lain dikenal dengan nama kuda lumping, dan jaran kepang. Ada juga yang menamakannya jathilan (Yogyakarta) dan reog (Jawa Timur). Tarian ini menggunakan ebeg yaitu anyaman bambu yang dibentuk menyerupai kuda berwarna hitam atau putih dan diberi kerincingan. Penarinya mengenakan celana panjang dilapisi kain batik sebatas lutut dan berkacamata hitam, mengenakan mahkota dan sumping ditelinganya. Pada kedua pergelangan tangan dan kaki dipasangi gelang-gelang kerincingan sehingga gerakan tangan dan kaki penari ebeg selalu dibarengi dengan bunyi kerincingan. Penari terdiri dari dua orang berperan sebagai penthul-tembem (penari topeng yang lebih sering melucu menggoda penonton), seorang berperan sebagai pemimpin atau dalang, 7 orang lagi sebagai penabuh gamelan. Jadi satu grup ebeg dapat beranggotakan 16 orang atau lebih. Semua penari menggunakan alat bantu ebeg, kecuali penthul-tembem. Ebeg termasuk jenis tari massal, pertunjukannya memerlukan tempat yang cukup luas seperti lapangan atau pelataran/halaman rumah. Waktu pertunjukan umumnya siang hari dengan durasi antara 1 – 4 jam. Peralatan untuk gending pengiring yang dipergunakan antara lain kendang, saron, kenong, gong, dan terompet. Selain gendhing dan tarian, ada juga ubarampe (sesaji) yang selalu disediakan berupa: bunga-bungaan, pisang raja dan pisang mas, kelapa muda, jajanan pasar, dan lain-lain. Untuk mengiringi tarian ini selalu digunakan lagu-lagu irama Banyumasan seperti ricik-ricik, gudril, blendrong, lung gadung, eling-eling (cirebonan). Yang unik, disaat saat kerasukan/mendem para pemainnya biasa memakan pecahan kaca (beling) atau barang tajam lainnya, mengupas kelapa dengan gigi, makan padi dari tangkainya, bekatul, bara api, dan lain-lain, sehingga menunjukkan kekuatannya Satria. Demikian pula pemain yang manaiki kuda kepang menggambarkan kegagahan prajurit berkuda dengan segala atraksinya. Biasanya dalam pertunjukan ebeg dilengkapi dengan atraksi barongsai a la Banyumas.

Laisan[sunting | sunting sumber]

Laisan adalah jenis kesenian yang melekat pada kesenian ebeg. Laisan dilakukan oleh seorang pemain pria yang sedang kesurupan. Badannya ditindih dengan lesung terus dimasukkan ke dalam kurungan, biasanya kurungan ayam. Dalam kurungan itulah Laisan berdandan seperti wanita. Setelah terlebih dulu dimantra-mantara, kurunganpun dibuka, dan munculah pria tersebut dengan mengenakan pakaian wanita lengkap. Laisan muncul di tengah pertunjukan ebeg. Pada pertunjukan ebeg komersial, salah seorang pemain biasanya melakukan thole-thole yaitu menari berkeliling arena sambil membawa tampah untuk mendapatkan sumbangan. Laisan, di wilayah lain biasa disebut sintren

sumber:Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas